Oleh Akhlis Suryapati
Paradoks Indonesia hari-hari ini semakin lengkap oleh Paradoks Presiden Indonesia. Prabowo Subianto sangat memahami tentang paradoks itu sebagaimana terbaca pada karya tulisnya tahun 2017 yang dikembangkan dan diterbitkan sebagai buku pada tahun 2022 berjudul Paradoks Indonesia. Ia menuliskannya dengan jelas dan tajam, kemudian ketika berkuasa mempraktekkannya dengan logika yang sama.
Peristiwa bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dalam perspektif ekologi politik, menguak pengetahuan awam, untuk memahami Paradoks Presiden Indonesia sebagai karakter kekuasaan dan ciri kebijaksanaannya dalam memimpin dan menguasai negara. Terlihat sejalan dengan cara pandang dan pilihan dalam tradisi kekuasaan yang ditulisnya.
Dalam penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, narasi serta kebijaksanaannya, cukup sempurna untuk memberi gambaran tentang paradoksal itu. Bencana kemanusiaan, kerusakan lingkungan, tewasnya lebih seribu manusia, musnahnya harta-benda rakyat, gelapnya harapan hidup di masa depan, tidak menjadi yang utama dalam mendapat perhatian, terkalahkan oleh pentingnya menjaga keberlanjutan stabilitas politik, dominasi kepentingan ekonomi oligarki. Lebih dari itu, narasi demokrasi yang selama ini menjadi bagian dari ‘mesin cuci’ Prabowo Subianto sebagai sosok yang sebelumnya identik dengan pelanggar HAM, secara eksplisit telah memperlihatkan sifat otoritariannya. Para pengkritik dibully, relawan kemanusiaan dilecehkan, bantuan internasional ditolak, bahkan setingkat negara seperti Malaysia pun dihina karena bantuannya.
Dalam Paradoks Indonesia, Prabowo mendiagnosis kontradiksi besar: negeri kaya tetapi rakyat miskin; sumber daya melimpah tetapi kesejahteraan timpang; demokrasi prosedural tetapi dikendalikan oligarki. Narasi sepanjang kampanye selama dua dekade untuk ambisinya menjadi Presiden, dirinya sempat menawarkan orasi bergelora : Negara kuat, ekonomi kerakyatan, kedaulatan nasional, demokrasi Pancasila, berantas korupsi sampai antartika!
Sekarang Prabowo sudah menjadi Presiden Republik Indonesia. Kebiasaan melakukan kampanye politik selama dua dekade, rupanya telah bersarang di dalam dirinya. Pidato-pidato, pernyataan-pernyataan, sampai pada yang mutakhir berupa gaya gemoy dan flexing selfie gaya Macan Asia di panggung selebritas global, telah melengkapi Paradoks Indonesia, dengan keberlanjutan dan penyempurnaan dari paradoks struktur bangsa, diperkuat dengan paradoks kepemimpinan.
Dalam krisis bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, negara hadir dan ingin dominan secara simbolik: kunjungan, pidato, instruksi – tampilkan semua itu secara masif sebagai citra kehadiran negara, jangan sampai kalah populer dengan satu dua orang yang hanya menyumbang Rp 10 miliar merasa paling tahu Aceh, jangan sampai kalah viral dengan sosok-sosok atau ulama-ulama yang menyarankan diterapkannya status Bencana Nasional. Sampai pada tiga minggu bencana terjadi, dan derasnya masukan dari berbagai lapisan masyarakat, negara tampak lebih fokus pada pengerdilan peranserta masyarakat. Orang -orang pintar hanya ngomong, tidak bisa menyediakan jembatan, memperbaiki jalanan rusak, dan sebagainya. Di sisi lain terlihat perlindungannya terhadap konsesi-konsesi hutan, tata ruang tidak dikoreksi, perkebunan sawit, dan pejabat-pejabat tinggi pembantunya yang korup. Pelaku kerusakan nyaris tak tersentuh, rakyat diancam agar jangan memanfaatkan kayu-kayu gelondongan dari hutan yang menimbun rumah mereka, para pengumpul dana masyarakat diancam agar mereka menjalankan prosedur hukum dengan mendapatkan izin lebih dahulu .
Negara hadir. Namun selektif untuk kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan rakyat, juga sesungguhnya bukan kepentingan negara. Kedaulatan diteriakkan, tetapi tidak untuk menertibkan para penguras hutan dan tambang, menrtibkan mereka yang membuat negara di dalam negara, mereka yang seperti koboi tembak-tembakan setelah diberi konsesi harta karun berupa tambang.
Negara kuat dalam mengontrol rakyat, tetapi lemah dan rapuh dalam mengontrol kapitalisme dan penjajahan modern. Prabowo membangun citra politik sebagai penantang oligarki selama dua dekade kontestasi elektoral. Namun setelah berkuasa, struktur ekonomi-politik nyaris tidak berubah. Konsolidasi elite justru menguat, oposisi melemah, dan kritik dipersempit.
Dalam kerangka otoritarianisme elektoral, ini bukan anomali. Pemimpin dipilih secara elektoral, tetapi setelah berkuasa, mekanisme demokrasi dipakai untuk meniadakan koreksi. Pemilu menjadi legitimasi, bukan koreksi, refleksi, pengawasan, apalagi transformasi menuju kemajuan peradaban.
Untuk menggambarkan hal ini, ciri yang paling mencolok adalah gaya komunikasi kekuasaan. Kritik intelektual direduksi sebagai “hanya bicara”. Diskusi publik diolok-olok sebagai tidak produktif. Dalam logika militeristik, kerja fisik dan hasil kasat mata diagungkan; kritik dan refleksi dipandang sebagai gangguan. Padahal dalam negara demokratis, berpikir dan mengkritik adalah bagian dari kerja publik.
Kepemimpinan Prabowo Subianto yang mengarah kepada gaya diktator, sebelumnya sudah banyak diprediksi. Unjuk rasa disebut makar dan terorisme. Demokrasi digeser dari ruang deliberasi menjadi ruang kecurigaan. Negara tidak lagi berdialog dengan warganya, tetapi mengawasi mereka, atau menyogok agar menjadi ternak-ternak yang lemah dan rapuh tanpa daulat.
Paradoks klasik otoritarianisme elektoral: Rekonsiliasi simbolik di puncak. Represi berlangsung rahasia di akar rumput. Konflik tidak diselesaikan, hanya dipoles. Pemberian abolisi, amnesti, atau jenis-jenis pengampunan sering dibungkus sebagai langkah persatuan, namun saat yang sama, praktik pembatasan kebebasan sipil, kriminalisasi kritik, dan kekerasan struktural terus berlangsung.
Dalam kekuasaan Presiden Prabowo Subianto, alih-alih meredam polarisasi. Kekuasaan justru memeliharanya. Isu-isu seperti keabsahan demokrasi, etika kekuasaan, dan integritas negara tidak diselesaikan secara transparan, tetapi dibiarkan menjadi bara politik. Konflik dijaga pada level tertentu— tetap panas untuk mengendalikan narasi, tetap dingin untuk mencegah perubahan struktural. Ini sejalan dengan pendekatan manajemen konflik dalam tradisi militer: konflik bukan musuh, melainkan variabel yang bisa dikendalikan melalui penciptaan konflik.
Jika Paradoks Indonesia ditulis sebagai kritik terhadap struktur lama, maka kepresidenan Prabowo menunjukkan paradoks yang lebih dalam: paradoks sebagai metode kekuasaan. Bencana ekologis, polarisasi politik, dan penyempitan demokrasi bukan kegagalan kebetulan, melainkan konsekuensi dari pilihan. Negara hadir tanpa mengubah struktur yang merusak. Dalam semangat keberlanjutan rezim Jokowi, paradoks tidak dihentikan, melainkan dilengkapi melalui kepemimpinannya. (Akhlis Suryapati, Jakarta, 20 Desember 2025)

Tinggalkan komentar