Pemuda Gen-Z in action merokok di sekolah. Ketika kena kepret Guru, mengadu ke Papi-Mami. Orangtua nggak terima, lapor polisi agar Bu Guru dipenjara. Guru lain  di sekolah bersorak-sorak. Ratusan murid unjuk rasa, mogok belajar, menghujat. Gubernur memecat guru yang juga kepala sekolah itu.

Dalam perkara beginian, yang sudah sering terjadi, biasanya trending berfokus pada guru menindas siswa. Tetapi kali ini terjadi arus balik. Fokus trending lebih kepada siswa yang menindas guru. Kiranya ada kerikil menggelinjangkan hati-nurani netizen dari sekadar waras-warasan akal pikiran, menjadi kesadaran  naluri etik.

Peristiwa di SMA 1 Cimarga, Lebak, Banten, yang viral itu, menggelinding mirip bola salju. Tidak sekadar  sebagai sebuah kasus, melainkan menjadi parade olok-olok paling makjleb  bagi dunia pendidikan. Siswa menindas guru seraya memanfaatkan hukum, opini, teknologi informasi dan media sosial, bertindak sebagai algojo etik tanpa diri punya etika.

Peristiwa ini bisa menjadi bacaan  atas peristiwa-peristiwa aktual dunia pendidikan, misalnya yang berlangsung di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Gubernuran Banten, Kementerian Pendidikan, dari polemik ijazah palsu Jokowi–Gibran sampai gelar doktor Bahlil Lahadalia di Universitas Indonesia. Dari plonga-plongo Gen-Z sampai racun yang menebar di sekolah dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kekeruhan dunia pendidikan menumpuk di permukaan cermin kebudayaan, menjadikan identitas budaya buram berdebu.

Universitas dan sekolah gagal sebagai benteng moral, etika, budi pekerti. Larut dalam ritual politik. Kemarin flexing dies natalis Fakultas Kehutanan UGM hanya demi memuji mantan presiden, untuk melawan isu ijazah palsu, mengeliminir polemik  legalitas pendidikan Wapres yang adalah anaknya, di bagian lain (mantan) Menteri Pendidikan era rezim Jokowi diborgol karena kasus korupsi.

Bukan insidental. Ini produk kebudayaan yang dibangun kekuasaan secara  sistematis. Skandal etika di dunia pendidikan, menjadi ladang patronase politik. Penuh gaya, cengeng, merasa patriot dengan menyengsarakan orang yang menegakkan budi pekerti. Slogan Generasi Emas 2045 yang ditumpukan kepada Gen-Z, nampaknya jadi ironi. Generasi yang digadang cemerlang, melalui ‘revolusi mental’  tumbuh dalam anarkisme nilai — terhampar di permukaan cermin berdebu.

Bingung kiranya, filsuf akademisi macam Paulo Freire (1970) yang menulis buku Pedagogy of the Oppressed  atau Ivan Illich (1971) yang menulis Deschooling Society. Mereka  sama-sama mengkritik pendidikan yang menindas, yang melanggengkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Namun Indonesia hari ini menghadirkan ironi baru: siswa yang semula diposisikan sebagai korban sistem represif pendidikan, kini justru menjadi pelaku penindasan. Menindas guru, melecehkan otoritas, mempermainkan etika serta budi pekerti.

Inilah disrupsi moral: Pendidikan kehilangan orientasi etik dan spiritual. Merdeka Belajar  melahirkan kebebasan dengan menyandarkan otak pada kecerdasan digital, tetapi menumpulkan nurani, sehingga Gen-Z tumbuh sebagai generasi bebal.

Peristiwa SMA Cimarga hanya kepingan kecil, di balik terkikisnya piramida otoritas guru dan kemuliaan pendidikan. Bukan karena ilmu dan pengetahuan mereka usang, melainkan karena berlangsungnya krisis keteladanan dan pembusukan etika yang berlangsung oleh rekayasa kekuasaan. Pada setingkat rektor, guru besar, profesor, hingga dosen, lihatlah ketika  tampil di televisi atau podcast, bukan keilmuan berbasis etik yang diperlihatkan, namun sibuk mlintar-mlintir sebagai partisan politik. Mereka kehilangan wibawa di tengah siswa yang sedang ngelunjak akibat budaya Termul.

Topik sepele tapi  makjleb ini, menandai posisi guru yang bukan lagi teladan etik, melainkan sekadar fasilitator administratif. Relasi pendidikan kehilangan sakralitasnya. Siswa tak lagi menghormati, melainkan cukup menilai apakah Menarik atau tidak, asyik atau reseh, relevan atau membosankan.

Teknologi pendidikan menjanjikan emansipasi, tapi juga membawa alienasi baru. Dalam hal informasi dan pengetahuan, mahasiswa dan siswa lebih percaya pada Google, Wikipedia, YouTube, atau TikTok ketimbang kepada dosen dan gurunya.

Dalam konteks ini, guru maupun siswa sebenarnya adalah korban sekaligus pelaku dari eksploitasi digital yang mengabaikan etika atau budi pekerti. Muncul trolling, cyberbullying, cancel culture, hingga deepfake yang mempermalukan.  Fenomena kekerasan tak kasat mata, namun daya rusaknya tinggi terhadap relasi sosial. Mereka yang menguasai dunia digital tanpa etika ,  menjelma sebagai algojo moral yang menindas,  tanpa rasa berdosa.

Murid menindas adalah produk dari sistem yang kehilangan imajinasi moral dan abstraksi budi pekerti. Mereka tahu apa yang salah, tapi tak mampu merasakan salah. Mereka belajar logika, tapi tidak empati. Mereka pandai berdebat, tapi tak bisa berdialog. Pendidikan sebagai ethics of care — etika kepedulian, berhenti dan berubah menjadi relasi kuasa. Sekolah bukan lagi komunitas belajar, melainkan arena survival sosial.

Sehingga, percuma kutak-katik kurikulum atau digitalisasi sekolah. Yang sekarang diperlukan adalah rekonstruksi nurani. Melihat persoalan SMA I Cimarga itu, misalnya, mesti dengan hati, dengan perspektif  budi pekerti, etika, dan spiritualitas, untuk dijadikan inti kurikulum — kalau sudi. Guru mesti dipulihkan martabatnya sebagai figur moral — bukan sekadar pegawai birokrasi. Pemecatan, kriminalisasi, dan penghujatan terhadap guru atau kepala sekolah yang menegakkan budi pekerti di wilayahnya, merupakan tragedi kebudayaan dalam dunia pendidikan.

Sekolah perlu menjadi komunitas dialog, tempat siswa belajar berpikir dan merasakan dengan empati, bukan sekadar berdebat dan menilai. Kebijakan digital harus berakar pada tanggung jawab moral, bukan sekadar literasi teknis. Pendidikan, kata Paulo Freire, terlahir dari cinta, keberanian, dan refleksi. Tanpa cinta pendidikan hanya transmisi informasi; tanpa keberanian hanya dogma; tanpa refleksi hanya mesin sertifikasi. Yang dihasilkan, akan sebagai bangsa tanpa kebudayaan, tanpa identitas, nggak memiliki jati diri. 

Telah dicontohkan oleh rezim, melalui pencitraan seseorang dengan rekayasa kebohongan yang dipaksakan agar dipercaya,  sebagai insinyur, sarjana, lulusan luar negeri, generasi milenial–Gen Z. Toh tetap saja  cemen, cengeng,  jadi anak karbitan papi-mami, plonga-plongo tatkala berhadapan dengan kehidupan sehari-hari. (Jakarta, 18 Oktober 2025)***

 

Tinggalkan komentar

Salam

Selamat datang dan senang sekali Anda berkunjung ke sini, dalam situs yang menyampaikan pikiran dan pandangan secara bebas merdeka berdasarkan hati nurani. Menjaga akal sehat, merawat ingatan, membaca zaman dalam perspektif kebudayaan.