Semangat dari sebuah kompetisi, termasuk dalam festival film, adalah untuk menjustifikasi capaian yang kita anggap terbaik. Sudut pandang terbaik, bisa dari perspektif beragam. Seperti halnya tentang kebenaran; orang boleh saja eyel-eyelan dari pagi sampai subuh perihal kebenaran.
Dalam demokrasi, kebenaran ditentukan selera suara mayoritas berbasis pengalaman. Dalam ilmu pengetahuan, kebenaran ditentukan akal pikiran melalui logika dan analisis rasional. Masing-masing disebut kebenarannya orang banyak dan kebenaran diri sendiri.
Di luar keduanya, ada kebenaran sejati. Itu yang senantiasa dicari oleh orang – yang dalam pencarian itu, nyaris tidak pernah mencapai final. Maka ada filsafat memberi pengantar, agama wahyu menyediakan petunjuk, kepada arah menuju kebenaran sejati . Filsafat maupun Agama pun banyak ragam perspektifnya. Namun umumnya sepakat, kebenaran sejati justifikasinya mutlak oleh Tuhan, manusia dengan akalnya. Maka ada istilah wallahualam.
Baiklah. Saya bicara tentang festival film, khususnya kompetisi dalam sebuah festival film.
Ada banyak tagline, jargon, arah-tujuan, bisa dituliskan. Namun selalu, inti dari kompetisi adalah berlangsungnya deteksi (melalui penjurian) atas sesuatu — dengan parameter yang dibuat untuk menemukan barometer sebagai titik ukur capaian maksimal dari sesuatu yang dikompetisikan, pada rentang waktu tertentu. Barometer kan air raksanya bisa naik, bisa turun, tergantung waktu dan kondisi badan ketika dokter atau suster memeriksanya, meneliti, mendiagnosa.
Dalam hal kompetisi di festival film, deteksi dilakukan terhadap karya-karya film, untuk sampai bisa ditemukan petunjuk yang menjadi dasar penetapan sebuah karya film memperlihatkan capaian maksimal. Apakah capaian itu disebut dengan istilah Terbaik, Terpuji, Terlaris, Terfavorit, dan sebagainya, terserah mau pilih dari kacamata (perspektif) mana. Umumnya, dalam kompetisi di festival film — tingkat nasional, regional, maupun internasional — capaian maksimal disebut sebagai The Best. Film Terbaik!
Masalah The Best atau Film Terbaik ini, juga bisa dieyel-eyel melalui perspektif beragam. Ada The Best versi Piala Oscar (Academy Awards), Palme d’Ord (Cannes), Golden Bear (Berlin), Grand Prix (Tokyo), Vision Award (Busan), Piala Citra (Indonesia), dan seterusnya. Semua itu, yang menjadi tenaga pendeteksi (penilai), namanya Juri — kumpulannya disebut Komite Juri, Dewan Juri, atau Badan Juri.
Pada Festival Film Sundance, yang sering disebut sebagai festival film independen terkemuka (di Amerika), ada semacam demokratisasi dan egalitarianisme mewujudkan kerendah-hatian Juri agar tidak otoritarian dalam urusan penetapan The Best. Penghargaan dalam Festival Film Sundance yang hasil deteksi Juri disebut Grand Jury Prize (Hadiah Juri Utama). Namun di festival itu juga ada Audience Award (Hadiah Penonton), Filmmakers Trophy (Piala Pembuat Film), Waldo Salt Screenwriting Award, Excellence in Cinematography Award.
Nah, selanjutnya saya ngomong tentang Festival Film Wartawan (FFW) 2025 dengan nama penghargaannya yang disebut Piala Gunungan. Saya merasa perlu menyampaikan pandangan dan pemikiran tentang hal ini, disebabkan menjadi bagian dari orang yang menjadi tenaga mendeteksi film-film yang beredar ke publik dalam kompetisi di Festival Film Wartawan itu. Sebagai salah satu Juri — di antara lima orang yang disebut Juri Akhir. Pekerjaannya menindaklanjuti pekerjaan deteksi oleh 21 wartawan yang disebut Juri Awal. Ibarat Komisoner KPK, menerima hasil kerja Penyelidik dan Penyidik, untuk selanjutnya melakukan penetapan. Kalau ibarat dokter, menerima hasil proses diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk menujuju keputusan tindakan: Mau dinyatakan apa itu pasien!
Berdasarkan konstitusi (buku putih, pedoman) yang merupakan garis-garis besar haluan penjurian oleh Panitia, akan ditetapkan Film-Film dan Unsur-Unsur Terbaik (The Best) dari film-film Indonesia yang beredar di publik — sejauh ini pengertiannya adalah Film Bioskop. Penetapannya terbagi dalam kategori-kategori genre yaitu Drama, Komedi, dan Horor. Kita selalu membayangkan, akan beberapa kemungkinan saat penetapan The Best –The Best itu disampaikan ke publik. Melintas begitu saja (adem-adem ayem) sebagai salah satu versi dari sekian banyak versi hasil kompetisi (penilaian) festival film. Atau akan ada gelitik kontroversi sebagai isyarat bahwa parameter capaian maksimal itu memang untuk ‘menghidupkan pikiran’. Menjadi bahan eyel-eyelan dari pagi sampai subuh. Dengan kata lain, festival terselenggara bukan sekadar tradisi selebrasi flexing sana-sini, melainkan juga sebagai sebuah peristiwa budaya.
Tentu, FFW paling mudah jika berlindung di balik eksklusivitas perspektif wartawan. The Best versi wartawan, begitu kira-kira. Jika pun hasilnya sama atau berbeda dengan The Bestnya versi FFI, FFB, JAFF, JFW, Seleksi Oscar, dan lain sebagainya, akan dianggap wajar dan baik-baik saja. Pun bisa dimengerti, jika wartawan mengambil sudut pandang paling mudah dan lekat sesuai entitasnya; yaitu film sebagai Media Komunikasi Pandang Dengar. Sehingga yang dianggap memiliki capaian tertinggi (The Best) adalah film dengan kemampuan maksimal menjadi media komunikasi publik dengan basisnya memenuhi unsur 5W+1H (what, who, when, where, why + how).
Progres FFW 2025 pekan-pekan ini, berlangsung tahapan penjurian menuju penentuan The Best, setelah hasil dari Dewan Juri Awal diserahkan kepada Dewan Juri Akhir. Sudah dua kali ada pertemuan semua pihak, termasuk Panitia di dalamnya. Saya senang, pada setiap pertemuan berlangsung Gelut Pikiran tiadanya habis-habisnya. Mungkin karena komposisi Juri Akhir terdiri dari latarbelakang perspektif bhineka tunggal ika. Berbeda-beda akar, satu penglihatan (dalam melihat film). Selain berasal dari entitas wartawan (dan kritikus), adalah akademisi, filmmaker, artis, produser, pengamat budaya. Namun mungkin juga, karena sebenarnya kita jenuh dengan suasana adem-adem ayem festival film. Kalimat lain dari suasana adem-adem ayem , adalah tidak terkoreksinya iklim pendangkalan pikiran dalam penyelenggaraan perfilman — antara lain sebagai akibat — belakangan ini hasil kompetisi di festival film semakin kurang mendapat perhatian (apresiasi) masyarakat. Orang bilang, kehilangan marwah.
Nah, muncul semangat dalam FFW 2025 untuk menjadikan festival ini menjadi ajang penghargaan sinema Indonesia sesungguhnya. Modal utamanya tentu bukan fasilitas dan sumber daya, melainkan ‘pemikiran’. Dirujuklah ulang melihat film sebagai Media Estetika, Pengetahuan, dan Komoditas Kreatif. Para juri nampaknya sepemahaman, dalam penilaian akan menempatkan estetika pada rangking pertama, pengetahuan pada rangking kedua, dan film sebagai komoditas kreatif pada parameter rangking ketiga.
Dengan semangat seperti itu, Gelut Pikiran semakin tidak clear. Diskursus seputar puncak capaian maksimal estetika saja, variable parametrik dan standar untuk melakukan penilaian, benar-benar sulit diverbalkan. Karena memang estetika mudahnya diabstraksikan berdasarkan tangkapan Cipta (pikiran/ide), Rasa (perasaan/hati nurani), dan Karsa (kehendak/dorongan bertindak). Tiga hal itulah yang membentuk kebudayaan. The Best dalam FFW 2025 akan mengacu pada pilar itu.
FFW 2025 lalu sepakat akan ada Penghargaan Spesial Juri sebagai deklarasi Capaian Maksimal The Best Film Indonesia. Kemarin penghargaan akan bernama Barometer Estetika Film Indonesia, eh sebagian merasa hyperbola dan bombastis. Diperhalus menjadi Ikhtiar Capaian Puncak Estetika Film Indonesia. Eh kok sepertinya kurang pede dan ragu-ragu.
Jadi, sementara ini biarlah para Juri FFW-2025 terus saja Gelut Pikiran — soal nama penghargaan spesial — sampai saatnya mereka mengumumkan di acara puncak, bulan November.
(akhlis suryapati, 13 oktober 2025)

Tinggalkan komentar