Membaca tagline ‘Jakarta Kota Cinema’ jadinya teringat Presiden Amerika Donald Trump ketika akan menjadikan Jalur Gaza (Palestina) sebagai Riviera Timur Tengah. Sebuah gagasan mewah di ujung genosida. Warga Gaza dijanjikan hidup damai, makmur, makan enak, rumah bagus, tapi setelah kedaulatan atas wilayah negaranya, politik kebangsaannya, identitas (jati diri) kebudayaannya, digenosida oleh Israel atas dukungan Amerika. Masyarakat perfilman Indonesia dijanjikan kebanggaan melalui Jakarta Kota Cinema di saat kedaulatannya tidak tersisa setelah genosida dalam dua dekade terakhir.
Sampeyan ini, nggak ada petir nggak ada topan, tiba-tiba bicara genosida di Gaza dengan genosida perfilman, semprot Ki Dasiman!
Lah, kan baru saja ada Sidang PBB untuk Palestina, dan ada wacana Jakarta Kota Cinema!
Beberapa waktu lalu Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan diskusi untuk menampung masukan guna memperkaya proposal mewujudkan Jakarta Kota Cinema. Kepala Dinas yang membawahi urusan itu, menyatakan di acara JEF Dialogue: Unlocking Jakarta’s Potential Through Tourism and Creative Economic. bahwa Jakarta sudah layak menjadi kota sinema. Bersama Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO sedang mengumpulkan berbagai dokumen guna mendapat pengakuan lembaga internasional. Sebuah badan, lembaga, atau apalah – bernama Film Commision — yang duapuluh tahun lalu digagas, proposalnya juga pernah diajukan ke pemerintah, sekarang seakan menjadi janin baru yang segera disambut kelahirannya. Mimpi lama dibungkus ulang.
Suka-suka sono dah. Siapa tahu memang bisa mewujudkan cita-cita tentang Tangkiwood, Putri Sima (Pusat Industri Sinema), Movieland, Kampung Artis, dan semua mimpi tentang adanya semacam Hollywood di Indonesia. Bayangkan Jakarta menjadi seperti Los Angeles,– lengkap dengan Disneyland dan Universal Studio. Optimis sebagai harapan, meskipun satire seperti harus optimisme mendengar tentang Indonesia Emas tahun 2045 saat hari ke hari cari makan saja semakin sulit. Giliran mendapat MBG (Makan Bergizi Gratis), keponakan-keponakan kita malah pada klepek-klepek keracunan.
Begini, Man, Dasiman!. Genosida adalah penghancuran terstruktur, sistemik, dan masif — pada ras, suku, agama, entitas, kelompok, bangsa –musnah seluruhnya atau sebagian. Dalam konteks analogi untuk perfilman nasional, yang dimusnahkan seluruhnya atau sebagian, meliputi kedaulatan dalam ruang politik dan hak-hak menentukan ekosistemnya sendiri, hingga simbol-simbol teritorial berupa situs-situsnya.
Bagaimana menjadi Jakarta Kota Cinema, ketika situs-situs perfilman sudah dialihkan peran, fungsi, dan peruntukannya, dari sebagai ruang kultural. Sebut saja PFN, Pusat Perfilman, Gedung Film, Penas, Perfini, Persari, Inter Studio, Gedung Sensor, Gedung Dewan Film, Sinematek, Kursus Elementer, Bioskop-Bioskop Gelanggang, Teater-Teater screening di instansi yang dulu banyak tersedia, juga asosiasi-asosiasi dan organisasi-organisasi perfilman yang tercerai-berai dalam pragmatisme ego-sektoral di bawah gendang kekuasaan dan kapital oligarki.
Jika di antara aset fisik situs-situs perfilman belum sempat termusnahkan, di sana pun tidak ada lagi kedaulatan masyarakat perfilman. Yang bertengger adalah proxy politik kekuasaan dan kapital oligarki. Perfilman sebagai entitas kebudayaan bangsa – pun sebagai komoditas komersial ekonomi kreatif – tidak lagi menempatkan masyarakat perfilman sebagai pemegang kedaulatannya. Padahal dalam sejarah penyelenggaraan perfilman nasional Indonesia, masyarakat perfilman yang merintis dan membentuk ekosistem.
Jargon Jakarta Kota Cinema mudah diucapkan, segampang menguap dari pembuktian. So, Jakarta mau menjadi Kota Cinema kek, Kota Global kek, Kota Megapolitan kek, The Big Durian kek. Dalam sebuah film, pernah dijadikan judul sebagai The Big Village atau Dusun Besar (1969) arahan sutradara Usmar Ismail.
Point yang bisa untuk menyegarkan akal, adalah kesiapan menerima jargon seperti itu seperti menerima janji Indonesia Emas 2045, di saat bonus demografi prematur oleh stanting, kelas menengah anjlok menjadi kelas miskin, pengangguran semakin antre panjang, kemiskinan meningkat prosentasinya, kesenjangan si melarat dengan si kaya kian melebar-memanjang. Tentang perfilman, cita-cita hebat mulia Jakarta Kota Cinema, terasa paradok dengan yang terjadi pada kenyataan dalam tata penyelenggaraan perfilman yang memusnahkan kedaulatan masyarakat perfilman berikut infrastruktur ekosistemnya.
Selama seperempat abad (paska reformasi 1998) telah berlangsung penghilangan fungsi-fungsi infrastruktur maupun tata laksana dan regulasi ekosistem yang sebelumnya menjadi tanda kedaulatan masyarakat perfilman. Simbol-simbol maupun instrument kedaulatan itu sekarang tidak tersisa. Masyarakat film kehabisan hak dan kesempatannya untuk menentukan nasib sendiri, membangun ekosistemnya, juga menempati ruang-ruang kebijakan dalam tata penyelenggaraan perfilman, sekaligus kehilangan ruang kultural dari dalam dirinya sendiri.
Siapa bilang? Semasa Orde Baru yang otoriter, pemerintah banyak intervensi! Sekarang ini pasar bebas. Semuanya diserahkan stakeholder. Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator.
Di pasar bebas, yang berdaulat itu oligarki, Man, Dasiman. Dalam regulasi, yang berdaulat para birokrat bersekutu dengan oligarki itu. Mengesampingkan film dari perspektif kebudayaan. .
Dalam sejarah penyelenggaraan perfilman nasional, ekosistem dibentuk oleh masyarakat perfilman – sejak kedatangan film pertamakali (1900). Penguasa masuk di dalamnya melalui regulasi tentang sensor dan pungutan pajak (1916). Tatkala bisnis kreativitas dan hiburan ini menumbuhkan kesadaran berkebangsaan, muncul film Loetoeng Kasaroeng (1926). Kemudian tumbuh industri dengan munculnya bioskop-bioskop, pembuat film, produser, importir, pengedar dan distributor.
Penguasa bahkan sejak zaman Hindia Belanda, menebengkan kehendak politiknya pada ekosistem yang dibangun masyarakat film. Faktanya, melalui Institut Kolonial sebagai bagian dari Nederlandsch Indische Bioscoop Bond (Gabungan Bioskop India) dengan Film Commisie (Sensor Film). Kemudian muncul peruusahaan Java Pasific Film, produsernya Albert Balink (1934), disusul Java Industrial Film produsernya The Teng Chun dengan tenaga kreatifnya Wong Bersaudara – yang kemudian juga menjadi produser.
Institut Kolonial bertransformasi menjadi Algemeen Nederlandsch Film Syndicaat (ANIF, 1936). Ketika berlangsung pendudukan Jepang, menjadi Eiga Kosha (1942). Setelah Indonesia merdeka, melanjutkan politik Jepang, dijadikan Berita Film Indonesia (BFI), lalu menjadi Poesat Keboedajaan, sampai akhirnya menjadi PFN (1975) dengan kepanjangan berganti-ganti, Perusahaan Film Negara, Produksi Film Negara, atau Perusahaan Pusat Film Negara, entahlah.
Paska kemerdekaan, masyarakat perfilman pribumi dengan tokoh-tokohnya seperti Andjar Asmara, Usmar Ismail, Djamaluddin Malik, Soerjosoemanto, D Djajakusuma, dan lain-lain – ditambah sejumlah pebisnis non-pribumi yang berkolaborasi untuk kepentingan bisnisnya seperti Njoo Han Siang, merintis kedaulatan dengan menciptakan ekosistem perfilman – dimulai dari Poesat Keboedajaan itu. Muncul Persari, Perfini, Inter Studio, juga organisasi SARI (Serikat Artis Indonesia) dan GASFI (Gabungan Studio Film Indonesia) pada tahun 1950. Tahun itu pula disebut Kelahiran Film Indonesia yang sekarang setiap tahun pada 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional. Tahun 1955 ekosistem dilengkapi dengan adanya ruang capaian prestasi artisitik yang disebut Festival Film serta ruang pendidikan yang disebut Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).
Negara hadir dalam ekosistem perfilman nasional setelahnya (1956) melalui UU No 33/1956 yang fokus pada sensor dan distribusi (pajak), setahun berikutnya ada PP No 20/1966 yang memperkuat posisi sensor dan kontrol ideologi. Masa Orde Baru memang berlangsung politik stabilitas dan pembangunan dengan pengawasan ketat, sehingga film memiliki peraturan bejibun banyaknya, termasuk perizinan, berujung pada nasib sejarah, perfilman Indonesia mati suri. UU No 8/1992 yang reformif melenyapkan perizinan, namun tak banyak menolong, sampai akhirnya muncul UU No 33/2009 yang sekarang juga tak memberi sumbangsih apa-apa pada kedaulatan masyarakat perfilman untuk menentukan ekosistemnya.
Yang ingin saya ceritakan, Man, Teman, Ki Dasiman, dengan segala momok yang terstigma tentang Orde Baru, di mana perfilman nasional justru berada dalam ekosistem yang melahirkan masa keemasan (1970 – 1980), masa-masa itu kedaulatan masyarakat perfilman dijaga dan dilindungi. Otoritas birokrat pemerintah menempatkan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam regulasi dan kebijakan penyelenggaraan perfilman. Dewan Film anggotanya ya orang-orang film. PFN jadi markasnya orang film. Begitu pula Inter Studio, Pusat Perfilman (Kuningan) di mana organisiasi-organisasi ngumpul, termasuk dibangunnya Gedung Film (Pancoran) sebagai Pusat Perfilman yang merepresentasikan fasilitasi pemerintah pusat setelah Gedung Sensor (Jalan Sabang) dan Gedung Dewan Film (Menteng) terjual. Ekosistem pada masa-masa itu, bahkan juga menciptakan infrastruktur perfilman di mana banyak gedung-gedung instansi pemerintah mempunyai ruang-ruang bioskop.
Itu semua dimusnahkan bersamaan dengan pemusnahan posisi, peran-fungsi, juga-hak-hak politik berkebudayaan masyarakat perfilman sebagai pemegang kedaulatan dalam regulasi dan tata kelola penyelenggara perfilman nasional.
Hancurnya situs-situs seperti Studio Penas, Perfini, Persari, Inter Studio. Beralihnya peran dan fungsi PFN, Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Gedung Film – kalau toh papan nama dan bangunan fisiknya masih ada, maka pemegang otoritas bukan lagi orang film yang menjaga kedaulatan masyarakat perfilman, melainkan proxy politik kekuasaan. Apalagi nomenklatur perfilman yang melekat dengan pemerintah seperti Direktorat Perfilman (apa pun namanya sekarang) yang di awal dulu dipimpin oleh seorang sineas bernama Syuman Djaya. Saat ini jauh dari merepresentasikan masyarakat perfilman, setidaknya sadar penghormatan pada kedaulatan perfilman.
Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang menjadikan film sebagai bagian dari kedaulatan kebudayaan: Prancis melalui CNC (Centre National du Cinéma), memungut pajak dari tiket bioskop, DVD, dan VOD untuk mendanai produksi film nasional dan bioskop independen. Korea Selatan menerapkan screen quota minimal 73 hari untuk film lokal, meski mendapat tekanan dari Hollywood. Hasilnya K-Cinema menjadi kekuatan global. Di India NFDC mendukung produksi film nasional dan daerah, menjaga keberagaman bahasa dan budaya. Iran meskipun sensor ketat, Farabi Cinema Foundation tetap mendanai film nasional, melahirkan sineas kelas dunia seperti Abbas Kiarostami dan Jafar Panahi.
Jakarta boleh saja menjadi kota dengan produksi film terbanyak, lokasi syuting terbanyak, bahkan festival film terbanyak. Tapi tanpa infrastruktur sejarah yang hidup dan masyarakat film yang berdaulat, semua hanya kosmetik. Menyebut Jakarta sebagai Kota Sinema, sementara arsip film membusuk, studio ditutup, bioskop independen mati, komunitas film dijadikan pelengkap seremoni. Namanya paradoks kultural.
Jika ingin Jakarta—dan Indonesia—menjadi City of Cinema, langkah pertama adalah mengembalikan kedaulatan masyarakat perfilman nasional: Merevitalisasi dan memfungsikan kembali situs-situs sejarah film. Menata ulang regulasi agar tidak hanya melayani sensor dan industri besar. Membangun lembaga semi-otonom seperti CNC (Prancis) atau KOFIC (Korea) yang dikelola oleh sineas dan pelaku film. Mengatur ekosistem distribusi agar lebih inklusif bagi film independen. Menyusun ulang peran PFN agar mewakili negara dengan berpihak pada kemajuan kebudayaan.
Film bukan sekadar industri kreatif. Film adalah juga ruang kritik sosial, arsip sejarah kolektif, dan cermin reflektif sebuah bangsa.
“Man, Dasiman. Kok kamu tertidur?”
“Ngantuk,” jawab Ki Dasiman. “Lanjutkan besok, di tulisan berikutnya!***

Tinggalkan komentar