TEMAN-teman kemarin pada semangat menikmati berita reshuffle kabinet. Mereka menyebut Sri Mulyani, Budi Gunawan,  Budi Arie, Dito Ariotedjo, Abdul Kadir Karding – sekarang menyandang predikat sebagai Menteri Pecatan.

Kegembiraan  menyambut reshuffle kabinet,  bukan karena terbitnya harapan baru, untuk mereka secepatnya mendapat pekerjaan, penghasilan, atau kesejahteraannya terpenuhi, setelah sekian lama ‘balap karung lomba bertahan hidup‘ sebagai pengacara (pengangguran banyak acara). Melainkan, mereka  sedang terhibur menonton wajah menteri yang dipecat itu dengan segala tingkah-polah dan ekspresinya. Di layar-layar  YouTube, TikTok, Instagram, Facebook.  Kadang di siaran televisi juga. Tapi menurut mereka, film video yang tayang di televisi kurang mak-jleb.

Bayangkan saja, ini scene adegan di kafe  gaib Cinema Society, tempat kami biasa ngrumpi, ngobrol. Sering juga dalam obrolan disertai  lagak  keminter ala kritikus  film dan pengamat budaya.

Di hari-hari gerah –kadang tiba-tiba turun hujan — seusai ada reshuffle, mereka sedang tidak membicarakan segala hal yang menjadi keluh-kesah selama ini.  Sejenak  melupakan perut kembung lapar – dari pagi hanya minum air dan kopi —  lalu asyik menyaksikan para Menteri Pecatan itu beradegan  sertijab dan perpisahan, berpeluk-pelukan dengan para pegawai,  nangis-nangis segala, pura-pura senyum lepas dari beban krodit   Hiburan semacam ini  bisa disebut sebagai katarsis sosial.

“Kalian ini sedang masuk dalam lingkaran kebudayaan jalan di tempat,” kata seorang teman yang sukanya mengutip Clifford Geertz (1926-2006) –  antropolog budaya asal Amerika yang menelorkan olok-olok abangan, santri, priyayi,  sebagai varian budaya Islam di Jawa. “Kita sedang berada dalam involusi olok-olok. Masyarakat sibuk saling meledek, sambil lupa masalah struktural yang sebenarnya.”

Di pojok kafe yang lain, teman kumpulan simpatisan Termul-Termul, separuh hari inilebih banyak diam. Wajah mereka lelah, kalau bersuara mulai serak tergagap-gagap. Tetapi hal itu tidak berlangsung  lama. Salah seorang dari mereka menemukan unggahan Instagram – anaknya Menkeu pengganti Sri Mulyani:  “Alhamdulillah, ayahku melengserkan agen CIA Amerika yang menyamar jadi menteri.”

Seketika Termul wajahnya agak berbinar. “Nih, Menteri Keuangan baru yang kamu dapat, belum-belum anaknya sudah radikal-intoleran.”  

Mereka pulih semangatnya, ketika menemukan unggahan-unggahan tentang Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa yang berkomentar nyelekit tatkala menanggapi pertanyaan wartawan perihal aksi demo rakyat hari-hari belakangan.: “Itu kan suara sebagian kecil rakyat. Kalau ekonomi tumbuh 6–7 persen, mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak, bukan demo.”

Omon-omon terasa ringan mengepul seperti asap rokok. Efeknya bikin batuk banyak orang. Riuh.    Teman saya yang pernah baca buku loak karya ilmuwan politik dan antropolog Amerika, James Scott, menyebut sebagai “bahasa kekuasaan’ untuk menandingi  ‘olok –olok kerakyatan’.

Omon-omon dan Olok-olok nampaknyabisa melewati batas dari sekadar kosakata, diksi, frasa. Melainkan juga bisa menjadi bacaan budaya yang menghibur.  Omon-omon  diteladankan oleh Prabowo yang sekarang menjadi Presiden, olok-olok ‘Menteri Pecatan’ diteladankan  Giring Ganesha  yang sekarang adalah Wakil Menteri Kebudayaan.  Waktu itu (2017) dia mengolok-olok Anies Baswedan sebagai “Pembohong dan Menteri Pecatan Presiden Jokowi.”

Maka tidak terlalu mengada-ada, jika  omon-omon dan olok-olok akan dijadikan kamus bacaan kebudayaan bangsa ini.

Tetapi juga bukan baru zaman Prabowo dan Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha, Omon-omon dan Olok-olok  diajarkan. Dulu Bung Karno mempopulerkan “sontoloyo” dan “nekolim”, Soeharto mendapatkan julukan the smiling general yang berubah jadi paradoks, SBY  sebagai Bapak Curhat, sampai Jokowi yang dilabeli Presiden Plonga-Plongo.

“Omon-omon lebih kreatif  dalam memproduksi olok-olok, dan bisa lebih abadi ketimbang jargon pembangunan atau blueprint kebijakan,” kata satu-satunya perempuan yang ikut dalam komunitas gaib di Cinema Society.  Dia  pengagum Benedict Anderson (1936–2015),  pakar Indonesialogi  asal Irlandia ahli kajian nasionalisme imajinasi politik.  “Bangsa dibayangkan melalui narasi-narasi asal njeplak. Sekarang bangsa kita  suka membayangkan kebudayaan melalui pelesetan.”

Era media sosial, tradisi olok-olok semakin tumbuh subur.  Diksi, frasa, kosakata menjadi bacaan kebudayaan.  Bahkan seorang ‘militer pecatan’ yang ‘singa asia’  mengolok-ngolok dirinya sendiri sebagai  gemoy, seorang pemimpin sipil mengolok-olok dirinya dengan pinokio, sontoloyo, gorong-gorong, dan sebagainya. Di masyarakat muncul olok-olok  cebong, kampret, kodok, kadrun, belakangan ada fufufafa, asam sulfat, dan sebagainya.

 Kata-kata ini adalah folksonomy politik, dikembangkan spontan tetapi awet sekaligus mengidentifikasi peristiwa dan kepribadian bangsa.  Kritikus sastra dan teoritikus budaya Mikhail Bakhtin dari Rusia menyebutnya sebagai  fenomena karnaval bahasa. Di sana berlangsung bahasa resmi yang menjadi parodi, herarki idiom  dibolak-balik.

Menjadikan olok-olok sebagai bacaan budaya dalam politik dunia, juga banyak dipraktekkan.  Never heard of them, kata Donald Trump mengolok-olok negara kecil Afrika bernama Lesotho yang ‘tak pernah terdengar. Ia menyebut Namibia dengan Nambia. Mengolok kaum migran yang menjadikan Amerika sebagai tong sampah; garbage can for the world.  Kim Jong-un (Korut) dujuluki Rocket Man dan Bashar al-Assad (Suriah) disebutnya Animal Assad.

Indonesia sudah sukses membuat olok-olok sebagai manuver  politik,  yang kemudian menjadi bacaan budaya sampai hari ini. Yaitu ketika mengeluarkan diksi  bahasa melayu  Laskar Tak Berguna  bagi pensiunan tentara di Malaysia. Ketika itu masa-masa konfrontasi (1963-1966). Istilah itu sampai sekarang melekat, dan banyak orang mengira sebagai istilah sesungguhnya di Malaysia.

Padahal pensiunan militer di Malaysia disebut  Pesara Tentera.  Di Indonesia pensiunan tentara disebut Purnawirawan. Pastilah kurang ajar jika mereka menyebut Laskar Tak Berguna. Sedangkan disebut bekas atau mantan saja,  para pemimpin kita nggak mau .  Jokowi mesti disebut Presiden ke-tujuh, SBY disebut Presiden keenam, Megawati disebut presiden kelima.. dan seterusnya. Jangan disebut mantan, bekas, apalagi  sebagai Laskar Tak Berguna.***

Tinggalkan komentar

Salam

Selamat datang dan senang sekali Anda berkunjung ke sini, dalam situs yang menyampaikan pikiran dan pandangan secara bebas merdeka berdasarkan hati nurani. Menjaga akal sehat, merawat ingatan, membaca zaman dalam perspektif kebudayaan.