Di perfilman, ada program nobar untuk penyandang disabilitas. Nonton bareng bagi mereka yang punya keterbatasan fungsi fisik, intelektual, mental, sehingga terhambat dan sulit dalam berinteraksi, berpartisipasi, mengembangkan potensi. Sempat saya dengar wacana bikin bioskop khusus difabel. Terbayangkan, tempat pertunjukan film yang penontonnya khusus orang tuna rungu (budeg), tuna wicara (bisu), tuna netra (buta), tuna grahita(telmi), tuna daksa (pincang). Entah, apakah penjaga pintu, penjual tiket, operator proyektor film – juga penyandang disabilitas.
Saya pernah berkunjung ke pabrik gelas di Tangerang dan Cempaka Putih, para pekerjanya penyandang disabilitas. Oktober tahun lalu saya nonton siaran Pekan Paralimpiade di Solo, multievent olahraga khusus penyandang disabilitas – merujuk event internasional Paralimpiade (Paris, Agustus-September 2024). Di sana kaum difabel berproduksi, berkompetisi mengukir prestasi olahraga. Bukan kepada mereka dibagi-bagi gelas gratis , bukan pula pergelaran ‘nobar’ untuk menonton event Olimpiade atau Piala Dunia.
Penghormatan–perlindungan–pemenuhan hak kaum disabilitas, seperti amanat undang-undangnya (Nomor 8 Tahun 2016), adalah bahwa negara tidak mengesampingkan atau membiarkan mereka kesulitan mengeksplorasi potensi. Maka dibuka ruang, agar bereksplorasi – bukan dibuai dalam kenikmatan konsumeristik.
Tapi saya tidak bicara film. Ini tentang disabilitas kebudayaan, cacat budaya, wounded culture, cultural dysfunction.
Cacat tentu menjadi rapuh. Budeg, bisu, buta, pincang, atau telmi (telat mikir) — dalam berkebudayaan — berisiko membawa pada kelambanan, keterhambatan, bahkan kemunduran kebudayaan. Peristiwa-peristiwa sosial belakangan ini memberi gambaran itu. Sepertinya kita hidup dalam masyarakat anarkis—tak beraturan, tak beradab, bahkan cenderung biadab—justru di dalam banyak sekali omon-omon kebudayaan yang saripatinya terkodekan dalam dasar falsafah berbangsa dan bernegara, namanya Pancasila. “Saya Pancasila, ” katanya.
Cacat kebudayaan membuat para pihak gagap menghadapi dinamika perubahan dan perkembangan, termasuk mengelola loncatan kemajuan teknologi. Viral video Eko Patrio dan kawan-kawannya di DPR yang paralel dengan viral gerakan ‘sakit hati’ rakyat karena dicekik kenaikan pajak PBB, itu kan tanda mudah untuk mengetahui adanya cultural dysfunction. Ini bukan kekhilafan, kealpaan, ketidaksengajaan. Ini tumbuh sebagai kebiasaan. Senang lihat orang susah, susah lihat orang senang.
Tahun lalu, ketika rakyat sedang unjuk rasa menyikapi DPR yang menganulir Keputusan Mahkamah Konstitusi soal calon kepala daerah, anaknya Presiden Jokowi – Ketua PSI Kaesang Pangarep dengan isterinya, pamer-pamer pelesiran di California, naik jet pribadi, cemilan roti seharga Rp 400 ribu. Ketika itu, juga ada viral driver ojek yang meninggal akibat kelaparan. Seperti juga peristiwa belakangan ini, mengiringi joget-joget kenaikan gaji-tunjangan, ada driver ojol tewas dilindas mobil aparat, ada bocah perempuan meninggal dengan kondisi dipenuhi cacing dalam tubuhnya.
Lalu kita mendapati peristiwa anarkistis, yang akarnya adalah akumulasi “ketidakadilan sosial yang biadab bagi seluruh rakyat Indonesia” – maka itulah sarkasme dari sila kelima Pancasila.
Lebih satu dekade berada di bawah rezim yang meruntuhkan etika berkeyakinan atas nama ‘moderasi berketuhanan’, mengabaikan kemanusiaan yang adil dan beradab dengan kriminalisasi – pemenjaraan – bahkan pembunuhan, memecah-belah persatuan melalui polarisasi cebong – kadrun – kampret , merekayasa dan memanipulasi musyawarah mufakat dalam kegelapan demokrasi melalui Mahkamah Konstitusi, sampai akhirnya keadilan sosial diterjemahkan melalui bansos elektabilitas, fasilitas teman dan kroni, konsesi eksploitasi sumber daya alam, aliansi bisnis multinasional – KKN (kolusi, korupsi, nepotisme).
Semua menjadi sarkasme atau kebertolakbelakangan dengan Budaya Pancasila yang katanya kita junjung tinggi. Dalam sepuluh tahun, kita tersihir ‘revolusi mental’ hingga menjadi cacat bisu, tuli, buta, dan dungu budaya. Kita pun gagap. Maka ada viral “komunikasi tolol”, joget-joget dengan parade tata suara sound horeg, larangan siaran live aksi demo oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), pemblokiran TikTok, ancaman-ancaman menggunakan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), dan lain sebagainya.
Kebudayaan sebagai — menurut Clifford Geertz — jaring makna yang kita tenun sendiri –gagap berhadapan dengan budaya digital global, terkoyak oleh gelombang politik elektoral, tercabik dalam pranata sosial , menjadi rapuh karena cacat dalam pengembangan, pemanfaatan, dan pewarisannya.
Budaya yang cacat atau cultural dysfunction kehilangan fungsi kebudayaannya sebagai penopang kehidupan sosial. Ia tak lagi menjadi sumber nilai dan orientasi, melainkan berubah menjadi beban. Alih-alih menuntun masyarakat sebagai tradisi atau adat-istiadat perilaku, kebudayaan justru terseret arus dalam menghadapi tekanan, kehilangan daya guna di tengah perubahan.
Kemarin kita menyaksikan kerusuhan massal—dari pembakaran gedung, perusakan fasilitas publik, hingga penjarahan rumah mewah milik pejabat. Energi sosial meluap tanpa arah. Itu bukan budaya Indonesia? Lho, memangnya yang melakukannya hantu? Itu budaya Indonesia yang sedang cacat, gagal menyediakan mekanisme resolusi konflik. Kebudayaan tidak bisa menjadi perekat, apalagi damai gotong-royong, Malahan melebarkan luka.
Di arena politik elektoral, wajah disfungsi budaya lebih telanjang. Pemilu yang seharusnya menjadi pesta gagasan berubah menjadi pasar suara. Uang, sembako, janji pragmatis. Budaya politik transaksional menyingkap, nilai kebudayaan tak lagi mampu memberi arah moral.
Dalam ruang digital, culturald dysfunction hadir dalam bentuk yang lebih subtil. Media sosial dipenuhi narasi dangkal, dikendalikan buzzer, dan diwarnai polarisasi. Identitas budaya ditampilkan bukan untuk dipahami, melainkan dijadikan komoditas politik atau konten hiburan. Kita hidup dalam ruang gema, di mana kebudayaan bukan lagi pondasi kebijaksanaan. Bising tapi rapuh; penuh simbol tapi miskin substansi; ramai dengan protes tapi semakin gagap dengan narasi.
Kebudayaan diproduksi oleh relasi kekuasaan, dimulai dari wacana-wacana. Yang ini menurut Michel Foucault. Terbentuklah realitas – bahkan kebohongan yang diwacanakan terus-menerus akan dianggap sebagai hal yang normal dan kebenaran. Kekuasaan dan budaya yang terbentuk, saling menopang, merekayasa identitas sosial.
Kebudayaan yang cacat tidak akan berujung pada ‘gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo – Indonesia sejahtera, rakyat berdaulat, damai indah — seperti slogan pada poster dan spanduk -di pagar-pagar kota. Yang ada malah jurang kesenjangan kaya-miskin yang kian menganga dan bising sound system horeg tiada henti-hentinya. Dalam keriuhan, jurang itu akan menjadi tempat kita terjerumus dalam kebiadaban.***

Tinggalkan komentar