BANYAK film – juga sastra, teater, dan karya seni lainnya – mengulang tema pahit The Revolution Betrayed atau Revolusi yang Dikhianati (Leon Trotsky, 1936). Kasus seperti itu relevan dari zaman ke zaman – termasuk untuk Indonesia. Bukan hanya merujuk pada pergolakan sosialis Uni Soviet setelah kematian Lenin (1924) yang dikorupsi Stalin dengan rezim birokrasinya.
Duapuluh lima tahun lalu hiruk-pikuk reformasi (1998) menumpahkan darah, airmata, dan hangusnya harta benda serta trauma. Seseorang dengan lantang mengaku sebagai tokoh reformasi, Angkatan 98. Lalu dia menjadi penguasa birokrat sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan –bagian dari gerombolan yang korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
Pergantian kekuasaan bukan terciptanya perubahan. Melainkan keberlanjutan dari tirani sebelumnya. Juga bukan berarti pergantian nasib rakyat. Revolusi menjadi gagal, reformasi sekadar omon-omon, ideologi dikhianati, perjuangan yang gegap gempita melahirkan perut kembung masuk angin. Hanya mengeluarkan kentut.
Bergaya ala Loki (Tom Hiddleston) dalam film Thor, Thor, Thor The Dark Word (2011), Wamen Ketenagakerjaan itu adalah ikon mutakhir dari pengkhianatan reformasi. Orasi-orasinya selama ini: “Berantas Korupsi, Koruptor Harus Dihukum Mati, Demokrasi harus ditegakkan,” dan seterusnya, sekarang ketahuan dia adalah pemeras, koruptor, sekaligus ‘penikam dari depan-belakang’ orang-orang yang menjadi juga penggerak reformasi. Bersama gerombolan birokrasi yang memuja hidup mewah, mengembat putaran uang dari kalangan rakyat pekerja (kaum buruh). Viral dirinya dengan tangan terbogol dan rompi oranye, membuat pasukannya – Para Termul — harus putar lidah melakukan pembelaan, sementara hujatan Netizen tak bisa dibendung lagi.
Tentu tak bisa kita melihatnya hanya sebagai kisah terisolasi, peristiwa yang terpisah dari konstruksi budaya sosial politik saat ini. Tak bisa hanya sekadar perbuatan oknum yang sifatnya personal, atau dengan apologi lainnya. Orang ini adalah pejabat tinggi penguasa, pembantu Presiden, pilihan rezim, garda depan pengabdi produk demokrasi paska reformasi. Tak terhindarkan, Netizen melakukan lacak jejak rekam; mengungkap sepakterjangnya sebagai pembela ‘Raja Jawa’ dan pengabdi ‘Singa ‘Omon-Omon’ Asia.
Saya teringat sebuah lakon AIB Teater Mandiri garapan Putu Wijaya (1988), yang saya menjadi pelaksana produksinya waktu itu. Pemainnya ada artis Dewi Yull, Silvana Herman, Arswendi Nasution (sekarang Komisaris PFN), dan lainnya. Bercerita tentang seorang jelata kehilangan tas remeh-temeh, membuat ribut satu pasar, lalu kekacauan, merembet sampai lingkaran kekuasaan. Tatkala tirani tumbang, si jelata naik tahta. Dia kemudian juga menjadi penguasa korup dan lebih tiran dari pendahulunya.
Budayawan Umar Kayam melalui novel Para Priyayi (1991), menggambarkan lapisan sosial yang tak pernah benar-benar berubah meski rezim berganti dari rezim kolonial Belanda, Jepang, Rezim Kemerdekaan, Revolusi, Orde Lama, Orde Baru, hingga sekarang Orde Reformasi atau entah Orde Termul atau apa namanya. Elite lama tumbang, elite baru lahir, rakyat kecil tetap di bawah dan tertindas.
George Orwell lewat Animal Farm (1945) menulis fabel satir tentang hewan-hewan peternakan yang menggulingkan Majikannya. Setelah Majikan tumbang, hewan-hewan ternak tersebut dipimpin Tuan yang suka gorong-gorong dan comberan, yaitu para Babi. Babi-babi ini kemudian lebih tiran daripada manusia. Slogan “semua hewan setara” bergeser menjadi “sebagian hewan lebih setara dari yang lain.”
Francis Ford Coppola melalui film The Godfather (1972–1990) menggambarkan suksesi hitam dinasti mafia. Michael yang imut (Al Pacino), menggantikan ayahnya – Vito Corleone (Marlo Brando) – justru menjadikan dinasti mafia itu lebih dingin dalam membunuh, terputus dari akar masyarakatnya, serta semakin korup. Pergantian pucuk pimpinan tidakmembawa reformasi moral; hanya mencetak predator baru.
Kisah nyata dipoles menjadi fiksi dalam film The Last King of Scotland (2006). Tokoh Idi Amin yang awalnya dielu-elukan sebagai pembebas Uganda dari kolonialisme, menjelma diktator brutal, menumpahkan darah rakyat lebih banyak daripada penjajah yang dilawannya. Begitu pula dalam A Bend in the River karya V.S. Naipaul (1979): Kolonialisme berakhir, tapi rezim baru malah korup dan brutal. Dekolonisasi tanpa reformasi moral dan sosial hanya melahirkan oligarki baru.
Victor Hugo dalam Les Misérables (1862) menyingkap wajah getir Prancis paska revolusi. Kerajaan tumbang, Kaisar dipenggal kepalanya, Republik lahir. Tetapi tokoh Jean Valjean tetap terjerat kemiskinan dan hukum yang kejam. Pesan Hugo jelas: revolusi politik tidak otomatis melahirkan revolusi keadilan.
Di Asia (India), epos kriminal Gangs of Wasseypur (2012) menuturkan pertarungan rakyat jelata melawan tuan tanah alias oligarki. Generasi baru berkuasa, tapi kekejaman justru diwariskan. Klan berganti, rakyat kecil tetap jadi bidak. Bahkan Ursula K. Le Guin dalam The Dispossessed (1974) menunjukkan: Utopia pun bisa berubah jadi distopia, jika tidak ada oposisi, koreksi kritis, apalagi jika para kritikus dibungkam, dimiskinkan, dilaporkan polisi, ditahan, dipenjara,
Lengkap literatur dunia memberi gambaran mengenai apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Bila AIB teater Mandiri Putu Wijaya pernah menyindir jelata yang berubah jadi penguasa rakus, panggung KPK memperlihatkan lakon yang sama dalam versi realitas. Seorang aktivis yang dielu-elukan kaum pekerja, dengan tangan diborgol dan berkostum oranye, kini menjadi tontonan kaum pekerja yang merasa diprank, dikacangi.
Ini bukan sekadar peristiwa yang hanya perlu himbauan agar Pejabat sadar dan Koruptor jera. Agar birokrasi berintegritas, dan nepotisme dihilangkan. Agar Pimpinan paham dan kolusi ‘dinasti’ diakhiri. Ini adalah instrumen merusak kemajuan, mendegradasi kebudayaan, meruntuhkan jalannya peradaban. Efeknya membuat kita menjadi bangsa yang pesimistis dan fatalistik. Seperti koma sebelum mati, atau mati sebelum ajal.**

Tinggalkan komentar