Gaji dan tunjangan mencapai Rp100 juta per bulan, ditambah fasilitas lain senilai puluhan juta, belum mobil dinas, perjalanan dinas—pokoknya semua serba dinas, kecuali kerendahan hati. Maka anggota DPR menari-nari gaya komedi Opera Van Java pelawak Eko Patrio. Ini bukan hiburan untuk penonton televisi, tetapi ekspresi dari budaya jumawa dan rakus di dalam mental Senang lihat orang susah, susah lihat orang senang.
Mangkel melihat pemandangan itu, rakyat berteriak ‘Bubarkan DPR!’. Lalu Wakil Ketua Komisi III DPR menyahut: ‘Itu orang tolol sedunia!’ Padahal rakyatlah yang ‘mementaskan’ mereka sebagai anggota parlemen, lha kok dibilang tolol sedunia. Bubarkan DPR’ – jangan-jangan gerakan yang mirip dimulai dari Pati – “Tolak Kenaikan Pajak, ujungnya Lengserkan Bupati.”
Beberapa hari sebelumnya, para anggota DPR ini berdiri sorak-sorai riang gembira, ketika Presiden Prabowo mengumumkan penghapusan tantiem dan berbagai tunjangan bagi komisaris dan direktur BUMN. Kelihatannya, ketika terinfeksi virus mental jumawa dan rakus tadi, mereka memasuki stadium “Senang jika rakyat susah, susah kalau rakyat senang menyampaikan aspirasi.”
Jumawa dan rakus bukan lagi menjadi sifat perorangan atau oknum manusia Indonesia. Melainkan tumbuh dalam struktur sosial-politik, menumbuhkan budaya predatoris. Yaitu kekuasaan yang bukan untuk melayani, tapi untuk memangsa. Yen mangan ora nyukupi, sing kurang digondheli wong liya. Tidak mengenal kenyang, punya orang diembat pula!
DPR semula singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Maksudnya, menjadi representasi kedaulatan rakyat dalam fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi ini dijalankan dalam kerangka perwakilan rakyat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Bukan untuk kepentingan kekuasaan, termasuk kekuasaan dalam Trias Politica: Eksekutif, Yudikatif, maupun Legislatif itu sendiri.
Namun jangankan DPR menjadi penyeimbang dan kontrol terhadap Eksekutif dan Yudikatif dalam kapasitas sebagai pembawa kedaulatan rakyat. Yang terjadi DPR menjadi koalisasi pendukung kekuasaan. Cilakanya lagi, budaya predatoris juga menggejala dalam Eksekutif dan Yudikatif – memangsa rakyat. Eksekutif dengan pajak, pungutan, dan pembiaran atas kesewenang-wenangan oligarki kapitalisme. Yudikatif dengan praktik pemutarbalikan fungsi hukum dari instrumen keadilan menjadi berhala perundang-undangan. Motivasinya sama: Mental Jumawa dan Rakus: Senang lihat orang sah, susah lihat orang senang.
Dulu Montesquieu mengajarkan Trias Politica dalam De l’Esprit des Lois (1748). Kekuasaan dibagi legislatif, eksekutif, yudikatif. Agar saling mengontrol. Tidak berlangsung penumpukan kekuasaan. Power should be a check to power. Konsep ini secara formal prosedural dipakai, tetapi yang dijalankan bukannya saling menyeimbangkan, melainkan saling menopang dalam simbiosis oportunis. Eksekutif butuh legitimasi, legislatif butuh fasilitas, yudikatif butuh aman. Persekutuan, persekongkolan, koalisi seratus persen. Trias Politica menjadi gaspoll yang membuat budaya predatoris semakin melaju kencang. Trias Politica untuk mencegah tirani, di sini dijadikan demokrasi tiran – atau bahasa mudahnya ‘Jamaah Diktator’. Memang bukan satu raja atau kaisar yang absolut, namun “kolektif oligarkis” melalui politik dinasti’, lihai bersembunyi di balik jargon demokrasi.
Kalau DPR kehilangan basis kekuasaannya karena terputus dari rakyat, ya membubarkan diri akan lebih elegan dibanding di ‘PHK’ oleh rakyat yang mempekerjakannya. Legitimasi DPR hanya oleh aturan formal dan uang yang dikelola Pemerintah, sedangkan rakyat yang beraspirasi disebut tolol, tidak jarang malah distigmatisasi, kriminalisasi. Itu adalah tanda violence menggantikan power. Dalam konteks kedaulatan rakyat, seperti diajarkan Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) dan On Violence (1970), kekuasaan adalah collective action— dari rakyat yang berkumpul, berunding, dan bertindak bersama. Ya lewat pernyataan dan demo-demo itu.
Ketahuan, DPR gagal menyerap aspirasi rakyat. Collective action tidak membutuhkan DPR. Coba simak, hampir suara penyeimbang terhadap kebijakan, keputusan, dan tindakan yang dijalankan penguasa, dimulai dan dilakukan langsung oleh rakyat. Seperti aksi di Pati, di Bone, dan daerah-daerah lain itu. Termasuk segala anomali tentang penegakan hukum, perlindungan hak asasi, dan tentu saja masalah ekonomi yang semakin menyengsarakan rakyat demi memakmurkan pejabat dan oligarki.
Bahkan ketika rakyat masif dengan aspirasi seperti tuntutan pemakzulan wakil presiden, dugaan ijazah palsu Jokowi, kenaikan pajak, kasus-kasus kriminalisasi dan pelanggaran hak asasi, sejauh ini DPR bukan hanya bungkam, melainkan menjadi bagian dari narasi pembungkaman aspirasi rakyat.
Bubarkan DPR mungkin belum realistis. Tetapi itu bukan ungkapan tolol, melainkan sebuah doa, semacam mantra perlawanan. Ketika hidung kemasukan debu, kita pun bersin-bersin. Debu di hidung bisa dibersihkan dengan saputangan. Sedangkan debu penghuni DPR ini kelewat tebal, maka perlu disedot, buang semua dari lembaga bernama DPR.
Budaya Predatoris telah mengubah Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Dewan Perwakilan Rakus. Mereka menari-nari menyambut pendapatan Rp 100 juta per-bulan di tengah banyak rakyat yang kembang-kempis, demi mendapatkan uang beli beras setiap harinya, mereka lalai mengurus anak hingga anak-anak itu mati kemasukan cacing; serta ditolol-tololkan oleh yang dipertuan Anggota DPR. Anjiirr. ***

Tinggalkan komentar