Memori Raya dengan Cacing-Cacing

“Kupersembahkan tubuhku untuk program makan bergizi gratis bagi cacing-cacing.” Begitu kira-kira imajinasi kita jika ada memori ditulis Raya.  “Cacing-cacing di tubuhku, telah membebaskan diriku dari kehidupan tidak berbudaya dan tidak beradab, sebelum aku mencapai masa satu periode jabatan presiden di tanah air – negeri tempat aku dilahirkan.”

Kemarin viral dari Sukabumi, gadis kecil Raya (4 tahun) mati. Dari tubuhnya keluar  sekilo cacing hidup. Ini bukan sekadar tragedi kesehatan, lalu kita mengeluarkan himbauan; waspadai bahaya cacing gelang, jagalah kebersihan, biasakanlah hidup sehat! Ini bahkan bukan sekadar tragedi stanting dan kemiskinan! Ini adalah  tragedi kemanusiaan, yang menguak kemerosotan kebudayaan dan peradaban.

Pada hari yang sama itu, di Jakarta viral Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang suka berkoar sebagai reformis Angkatan 98 tertangkap OTT KPK karena korupsi. Bersamanya disita sejumlah motor dan mobil, simbol kemewahan yang kontras dengan hidup Raya yang tak bertahan sampai satu periode jabatan presiden. Lima tahun.

Lalu kita juga menyaksikan, wakil rakyat di istana kekuasaan legislatif, mengusulkan gerbong eksklusif kereta api agar penumpang nyaman merokok, ngopi-ngopi, ngrumpi-ngrumpi. Cermin dari otak yang dilumuri hedonisme. Di gedung yang sama, seniman selebriti musik berpolemik rebutan pundi-pundi royalti. Mereka seperti dalam film koboi petualangan; Tembak-menembak rebutan harta karun karena dorongan nafsu serakah.

Mau ngomong apa sih saya? Bingung!  Begitu kroditnya persoalan bangsa ini, yang di­tun­jukkan oleh peristiwa demi peristiwa. Satu sama lain terhubung sebagai kebudayaan, se­kaligus menjadi ironi dan paradok dengan narasi-narasi sebagai bangsa yang berketuhanan, berkemanusiaan, ber-persatuan, bermusyawarah mufakat, berkeadilan sosial.

Sungguh bukan cerita film, lirik lagu, atau prosa sastra. Rangkaian peristiwa dalam satu hari kemarin,  menggambarkan kontras kemanusiaan, retak kebudayaan, anjlognya peradaban. Raya mati melebihi dari fase stanting kekurangan gizi dan nutrisi, sebaliknya gizi dan nutrisi bawaan dirinya disedot oleh cacing-cacing yang berkembang biak dalam tubuhnya. Metafora yang terang-benderang untuk sebuah Indonesia Raya yang mati budaya karena digerogoti oleh kekuasaan korups, hedonistik, keserakahan.

Jika tubuh Raya hanya kita lihat simbol krisis biologis, setidaknya mobil-mobil mewah, gerbong VIP, dan perseteruan royalti adalah simbol yang menandai kontras kemanusiaan. Ada penderitaan fisik dan sosial yang luar biasa, di bagian lain ada kelimpahan dan kepuasan diri melalui kekuasaan dan keserakahan atas nilai uang dari karya cipta seni budaya.

Raya gadis berusia 4 tahun itu. Ayahnya tidak pekerja dalam klasifikasi sebagai ‘tenaga kerja’ yang perlu mendapat perhatian negara. Tak ngerti dan tidak memerlukan Sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang menjadi ladang pemerasan Wakil Menteri itu. Sedangkan Ibunda Raya, hidup di atas  garis tekanan yang menggoyahkan fisik maupun mental. Menjadi Orang Dengan Gangguan Jiwa (OGDGJ).

Dalam kemiskinan, keluarga ini tinggal di rumah berkolong. Raya yang masih balita, merangkak, merambat, berjalan, ke kolong rumah itu – bermain dan bercanda dengan ayam-ayam yang dipelihara ayahnya untuk kegiatan dan penghasilan. Mungkin dia juga melahap kotoran ayam ketika lapar. Barangkali ada induk cacing gelang memasuki tubuhnya, lalu bertelur, menetas, dan berkembang biak.  Nutrisi dalam tubuhnya digerogoti. Dihisap. Dimakan cacing-cacing. Raya menjadi lemah, kemudian sakit. Tidak ada BPJS. Ayah dan Ibu tak punya duit untuk berobat. Anak itu mati.

Kita mendengar ceritanya setelah viral. Seperti kita mendengar korupsi Wamen Ketenagakerjaannya setelah OTT KPK. Kita mendengar usulan gerbong kereta eksklusif melalui siaran jurnalistik. Kita mengetahui polemik royalti setelah ada ‘polemik’ antar pelaku ‘ekonomi kreatif’ subsektor musik.

Jadi bukan rangkaian peristiwa hari kemarin yang bisa untuk kita baca sebagai tanda kemerosotan kebudayaan dan peradaban kita. Melainkan rangkaian panjang dari peristiwa demi peristiwa dan konstruksi pranata sosial sepanjang kita mampu merasakannya.

Indonesia Emas 2045—ekonomi maju, masyarakat sejahtera, generasi cerdas—hanya akan menjadi halusinasi dan materi politik omon-omon, jika ketimpangan moral, sosial, dan budaya terus seperti ini. Anak-anak mati, pejabat menjarah, wakil rakyat memisahkan diri dari ruang publik, pelantun suara kemanusiaan rebutan pundi-pundi.

Budaya—nilai, etika, solidaritas, dan moral kolektif—kiranya perlu direstorasi, agar cacing-cacing sosial: korupsi, hedonisme, dan keserakahan – berhenti menggerogoti. Tapi bagaimana? Referensi kajian akademik dan ilmiah,  ceramah, khotbah, dan sebagainya, tidak lagi bisa menggugah kesadaran.  Apalagi hanya  kritik, sindiran. Kata  Pierre Bourdieu, elite menguasai modal ekonomi, politik, dan simbolik. Mereka mampu membentuk persepsi masyarakat, termasuk apa yang dianggap wajar atau sah. Kematian Raya adalah produk struktural budaya,  bukan insiden terisolasi.***

Tinggalkan komentar

Salam

Selamat datang dan senang sekali Anda berkunjung ke sini, dalam situs yang menyampaikan pikiran dan pandangan secara bebas merdeka berdasarkan hati nurani. Menjaga akal sehat, merawat ingatan, membaca zaman dalam perspektif kebudayaan.