Viral foto struk pembayaran restoran,  mencantumkan biaya Rp 29.000 atas royalti lagu yang diperdengarkan di tempat itu. Ini unggahan media sosial, sumbernya dari  LinkedIn. Walau kemudian diklarifikasi hanya sebagai ilustrasi, cukup untuk menyingkap wajah kapitalisasi dalam nomerasi karya cipta seni budaya – di antaranya musik. Gampangnya mengenai royalti.

Pada garis tertentu, regulasi tentang hak cipta dengan pelaksanaannya, menjadi vaksin sekaligus virus pada dalam ekonomi kapitalistik yang melumuri kebudayaan dalam bentuk keserakahan,  anti-sosial, anti berbagi, dominasi pemilik modal, yang pada gilirannya masyarakat konsumen obyek eksploitasi .

Tagihan yang menyelip di antara mie, sambal, kecap, topping ceker, minuman, pajak restoran,  itu menandai gejalanya. Siapa tahu nantinya karena bus atau kereta yang Anda tumpangi menyetel lagu karaoke, maka dalam harga tiket bus atau kereta, ada royalti yang harus Anda bayarkan untuk lagu-lagu karaoke itu.

Karya cipta budaya menjadi pundi kapital, potensial sebagai sumber sengketa perebutan harta karun  ala koboi Texas rebutan emas dalam film-film western. Atau menumbuhkan budaya palak dengan menggunakan Undang-Undang Hak Cipta.

Dulu orang Bali menciptakan tari sebagai persembahan kepada Dewata. Tari Bedhoyo diciptakan oleh Kawula sebagai persembahan kepada Rajanya. Lagu Ilir-Ilir digubah Sunan Ampel, atau cerita wayang dikembangkan Sunan Kalijaga, untuk amal-jariyah berbagi ilmu. Kalau dalam bahasa Pancasila, ya, semangat Gotong Royong lah. Sekarang orang bikin film, lagu, novel, dan sejenisnya, etosnya komersial di dalam sistem ekonomi kapitalis..

Padahal menjalankan kebijakan dengan menggunakan sistem kapitalis, menurut hakim yang mengadili Tom Lembong, patut dipenjarakan selama 4,5 tahun. Menurut hakim-hakim itu harus berdasarkan sistem Ekonomi Pancasila.

Piye, jal.  Lha UU Hak Cipta atau UU HAKI, sumber falsafahnya memang bukan dari Pancasila seperti diajarkan pada hari pertama kuliah Ilmu Hukum. Juga bukan kodifikasi hukum-hukum yang tumbuh dalam budaya  masyarakat Indonesia.  Itu undang-undang full bersumber falsafah kapitalisme barat, disusun setelah tahun 1977 Indonesia meratifikasi Konvensi Bern tentang UU Hak Cipta,  dengan sangat tergopoh-gopoh. Gara -gara diomeli Bob Geldof, rocker Irlandia, ketika dirinya menyelenggarakan Konser Bantuan Kemanusiaan Untuk Kelaparan Eithopia di London. Sekadar mengingat, penampilan Freddie Mercury The Queen dalam pentas itu, menjadi klimaks adegan film Bohemian Rhapsody, 2018.

Bob Geldof teriak-teriak bahwa  Indonesia adalah negara pembajak karya kreatif teratas di dunia setelah Tiongkok – Cina.

 Penerapan Undang-Undang Hak Cipta – utamanya menyangkut royalti dan pembajakan, ya kemudian mengalami benturan-benturan. Di dalam sistem ekonomi kapitalis,  benturan selalu menempatkan Pengusaha mentang-mentang, Buruh tertindas. Produsen/Produser sewenang-wenang, konsumen tiada berdaya.

Struk tagihan royalti atau remunerasi itu menjadi simbol  jerit masyarakat yang semakin tercekik oleh pungutan. Untungnya, jerit masyarakat tidak sampai seperti masyarakat Pati yang menolak kenaikan pajak PBB – yang disusul masyarakat Bone –sampai-sampai menuntut agar Penguasa dilengserkan.

Benturan akibat  kapitalisasi royalti atau remunerasi ini sudah banyak terjadi. Bulan Agustus ini, Restoran Mie Gacoan Bali – setelah digass poll sana-sini – akhirnya  membayar Rp 2,2 miliar kepada LMI Selmi demi ‘rekonsiliasi ekonomi kapitalis’.  Restoran Gacoan dikelola PT Mitra Bali Sukses, kepanjangan koorporasi   PT Pesta Pora Abadi. Sedangkan LMI adalah  Lembaga Manajemen Kolektif  yang mendapat kuasa untuk mengelola royalti. Selmi kepanjangan Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi), salah satu dari sebelas LMK yang menjadi ‘debt collectornya’. Lainnya ada KCI, WAMI, RAI, PELARI, PAPPRI, ARDI, ARMINDO, SMI,  Prisindo, dan LMK Prointim. Masing-masing singkatan itu ada kepanjangannya, tapi terlalu panjang untuk saya tulis di sini.

Selain kasus MieGacoan dan  Struk Tagihan Royalti, sebelumnya ada cerita tentang gugatan terhadap penyanyi Agnez Mo yangmembawakan lagu seseorang tanpa izin. Pengadilan Niaga Jakarta memerintahkan Agnez Momembayar ganti rugi Rp 1,5 miliar, selain Agnes Mo sempat dilaporkan secara pidana.   

Benturan lainnya, sejumlah musisi mengajukan judicial review atas UU Hak Cipta, menyoroti ambiguitas dan beban sistem royalti, yang menimba kerumitan daripada keadilan. Di Bandung,  instalasi Love Light Rabbit Town dinyatakan melanggar hak cipta karya Urban Light milik Chris Burden (LACMA). Pengadilan memerintahkan penghapusan dan membayar Rp 1 miliar ke pewarisan.  BIGO Technology (Likee) dituding menggunakan 168 lagu tanpa izin sebagai latar dalam video pendek.

Untungnya lagi,  itu benturan antarpihak berduit. Tetapi ada juga kasus Warkopi – kegiatan kreatif anak-anak muda melucu dan ber-UMKM, mendapat somasi dari Warkop DKI yang bertahun-tahun sudah mendapat miliaran penghasilan dari brandingnya. Anak-anak muda itu tidak menjiplak karya,  hanya meniru persona.  Regulasi hak cipta merambah ke urusan “hak eksklusif” atas wajah dan gaya bercanda. Virus ‘mentang-mentang’ dan serakah.

Toko Roti Si Unyil di Bogor kena  masalah oleh pemilik Hak Intelectual Property (IP) dari serial film Si Unyil.   Jangan-jangan nanti para pengatur  lalu-lintas di tiap belokan dan pertigaan yang menggunakan nama Pak Ogah itu, disuruh bayar royalti  pula.

Bayangkan,  naik angkot sambil dengar radio  ada biaya tambahan royalti lagu. Baca puisi di lomba berhadiah, kena tagihan dari lembaga hak cipta. Mengaji pakai pengeras suara masjid yang ada kotak amalnya, akan kedatangan invoice royalti tilawah.

Akibat ratifikasi Konvensi Bern, lenyap lapak kaset “seribu tiga” di pinggir-pinggir jalan; lenyap buku-buku terjemahan murah di kaki lima. Generasi yang lahir setelahnya kehilangan akses sederhana untuk mencerdaskan diri, mengenali perkembangan dunia melalui karya-karya kreatif level dunia, di saat pendidikan di Indonesia masih bingung tentang kurikulum. Penerbit seperti Gramedia, Gunung Agung, atau PT Temprint, harus membayar royalti ke pemilik hak ciptanya jika ingin menerbitkan terjemahannya. Maka kalau toh menerbitkan, buku dijual dengan harga mahal. Begitu juga kaset lagu-lagu.  Konsumen juga yang kena beban.

Kapitalisasi royalti menumbuhkan kerakusan dan keserakahan melebihi pembajakan.  Royalti bukan sekadar balas jasa untuk pencipta, melainkan tagihan kolektif untuk setiap bentuk “pernafasan budaya”. Karya cipta kreatif film, musik, sastra, dan sebagainya – yang di dalamnya ada  pengetahuan dan karya seni budaya laksana air mengalir dari sumbernya untuk kelangsungan hidup orang banyak,  kini dipagari oleh nilai royalti, ancaman pidana karena komersialisasi tanpa izin, karena penjiplakan, karena pembajakan.

Beberapa bulan lalu ada seminar Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang mengkampanyekan anti-pembajakan di Epicentrum, Kuningan, Jakarta. disponsori Kementerian Ekonomi Kreatif. Pembajakan harus diperangi, agar industri kreatif  berkembang. Jika tidak, maka ekonomi kreatif tidak tumbuh!

Lah, Tiongkok Cina yang dicap Bob Geldof negeri pembajak nomor satu di dunia, dan tak menggubris ancaman Amerika, sekarang justru menjelma jadisuperpower ekonomi melalui karya-karya kreatif: Film, musik, sampai fashion, mereka mendunia. Bajakan malah jadi “pupuk” bagi penyebaran budaya pop lokal yang kemudian dikapitalisasi lebih besar. Cina yang sumpitnya, bakpao, pangsit, mie, dingsum, dan banyak lagi, diproduksi missal dan dikomersialkan di berbagai negara, tidak pula kepo meributkan klaim hak cipta dan royalti.

Indonesia yang tergopoh-gopoh meratifikasi Konvensi Bern, diikuti polisi-polisi menangkapi pembajak, melakukan penyitaan, penggeledahan, mendampingi laporan dan gugatan para Pemegang Hak Cipta yang ‘serakah’ tadi. Bukannya  industri musik berkembang maju, malahan koleps.  Bukannya setiap film yang dibuat member kesejahteraan, malahan hanya didominasi Kapital Kuat – tentunya yang terkuat film Hollywood.

Mental serakah juga tercermin pada sikap anti sosial, anti berbagi, anti gotong royong, anti amal jariyah, melalui karya yang dihasilkan. Dipersepsikan, mereka dirugikan oleh pembajakan setara dengan omset bajakan itu. Kalau sebuah film ada bajakannya 1 juta VCD, maka klaim kerugiannya 1 juta VCD kali jumlah uang yang didapat dari penjualan VD orisinal. Padahal, riset sederhana menunjukkan: orang yang membeli bajakan bukanlah orang yang akan membeli versi orisinal kalau bajakan tidak ada. Bajakan hanya memperluas akses—dan kadang justru menumbuhkan popularitas atas karya kreatif itu.

Kapitalisasi royalti sedang merayap masuk ke ruang-ruang interaksi sosial hidup kita: bioskop, warung, kafe, bahkan juga bus, omprengan, halte, atau kamar-kamar rumah sakit tempat pasien menggeletak untuk pemulihan kesehatan. Atas nama melindungi kreator, kapitalisasi royalti menyingkirkan logika gotong royong – orang juga takut untuk ikut menyebarluaskan kemuliaan di dalamnya.  Padahal masyarakat bangsa ini tumbuh karena tradisi berbagi: buku bajakan yang mencerdaskan mahasiswa, kaset bajakan yang menghidupkan musisi kampung, naskah fotokopian yang melahirkan sarjana-sarjana.

Melindungi hak pencipta perlu dalam koridornya, namun hukum tak boleh berubah menjadi mesin keserakahan, kesewenang-wenangan, adigang-adigung-adiguna. Kreativitas bukan semata soal royalti, kuasa kepemilikan, hak mengeksplotasi masyarakat. Bangsa ini perlu berani menempatkan ilmu, seni, film, musik, dan karya seni budaya lainnya,  bukan sebagai tagihan, melainkan amal jariah – atau bagian dari kegotongroyongan intelektual.

Ada pun rakyat,  janganlah pula dipalak atas nama perlindungan. Tetapi jangan dididik pula menjadi pencuri. Kapitalisasi royalti jangan menjelma sebagai rentenir, menagih uang dari setiap tarikan napas seni. Intelektualitas dipajaki, solidaritas ditagih, gotong royong digugat. Kreativitas tidak lagi menjadi harta kebudayaan. Mengembangkan, memanfaatkan, dan membina kebudayaan — mesti dengan regulasi yang memperhatikan asas hukum yang tumbuh berkembang di masyarakat di negeri ini.  Buka semata berdasar falsafah kapitalisme Bob Geldof.***

Tinggalkan komentar

Salam

Selamat datang dan senang sekali Anda berkunjung ke sini, dalam situs yang menyampaikan pikiran dan pandangan secara bebas merdeka berdasarkan hati nurani. Menjaga akal sehat, merawat ingatan, membaca zaman dalam perspektif kebudayaan.