Diawali dari jurnal cetak, berlanjut ke ruang sidang, merajut linimasa media sosial: Kisah ijazah Presiden Jokowi bertransformasi dari selembar kertas akademik menjadi simbol krisis kepercayaan bangsa. Sebuah komedi humor dalam tragedi kebangsaan, dunia tertawa getir di tengah demokrasi yang pincang.
Drama ini bermula dari buku jurnalistik Lelaki dengan Ijazah Palsu (2022) karya Bambang Tri Mulyono – yang menguak tentang dugaan ijazah palsu seorang presiden. Buku itu menuduh Presiden Jokowi menggunakan dokumen akademik palsu. Akibatnya, Bambang divonis 6 tahun penjara dengan dakwaan menyebarkan hoaks. Namun vonis itu justru menanam bibit keraguan: jika tuduhan tidak benar, mengapa publik tetap bergeming? Terseret juga Sugih Nur (Gus Nur)—yang membicarakan isu ini di kanal YouTube—ikut dijebloskan ke penjara dengan hukuman 4,5 tahun. Ia baru saja mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
Narasi ijazah palsu tidak mati, malah menjelma api kecil yang terus menyala.
Muncul figur Rismon Hasiholan Sianipar, mantan dosen yang meneliti dokumen kelulusan Jokowi bak arkeolog. Ia menyoroti tanda tangan, huruf cetak, hingga anomali administrasi. Rismon tidak sendiri. Ia ditemani Roy Suryo, mantan Menpora sekaligus “pakar telematika” yang terkenal sebagai pemeriksa digital segala rupa; dan dr. Tifauzia Tyassuma (Dokter Tifa) yang menambahkan bumbu analisis medis-forensik ala media sosial. Bertiga, mereka tampil sebagai “lembaga penelitian rakyat”—menawarkan kontra-narasi di luar versi resmi negara.
Dampaknya nyata. Polemik menyeret Universitas Gadjah Mada (UGM) ke pusaran dagelan akademik-politik. Pihak kampus, melalui Wakil Rektor, menegaskan Jokowi memang tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan dan lulus pada 5 November 1985. Mereka menyatakan punya arsip lengkap: ijazah SMA, skripsi, hingga daftar wisuda. Namun penjelasan itu justru dipertanyakan publik. Kepercayaan yang tergerus tidak pulih hanya dengan konferensi pers.
Konflik makin mengeras ketika kubu Jokowi dan relawannya melaporkan Roy Suryo, Rismon, hingga Dokter Tifa ke Polda Metro Jaya. Balas-membalas laporan menjadikan hukum sekadar arena adu kekuatan, bukan pencari kebenaran. Publik pun terjebak dalam drama yang sulit dipisahkan antara fakta, politik, dan opini.
Di linimasa, meme bertebaran. Ada yang membandingkan jenis font, ada yang membuat guyonan “ijazah copy-paste”. Dalam demokrasi digital, ijazah bukan lagi sekadar dokumen pendidikan, tetapi simbol kejujuran yang diparodikan. Di titik inilah kita bertanya: apakah demokrasi dan dunia akademik kita benar-benar sehat, jika masalah seserius ini lebih banyak diolah sebagai bahan olok-olok ketimbang transparansi. Negara juga membiarkan kasus bergulir liar sebagai game yang karakter-karakter di panggungnya serasa para jagoan lalu kemudian di antaranya menanggung tragedi hidup yang nyata.
Universitas sebagai mercusuar intelektual ikut terseret arus. Alih-alih menegaskan peran akademik sebagai penjaga kejujuran, UGM malah tampak seperti aktor defensif yang kehilangan kepercayaan publik. Di mata sebagian orang, kejujuran akademik tampak kalah oleh pragmatisme politik.
Kini bangsa ini terpecah: antara yang percaya pada ijazah, dan yang yakin itu palsu. Namun keduanya berakar pada satu krisis yang sama—hilangnya kepercayaan. Bila benar palsu, maka sepuluh tahun kepemimpinan berdiri di atas kebohongan. Bila benar asli, maka mengapa begitu sulit membuktikannya secara transparan?
Kebudayaan sedang diuji. Bukan sekadar pada soal selembar kertas, tetapi pada integritas pemimpin, keberanian akademia, dan kejujuran bangsa ini menatap diri sendiri. Di ujungnya, publik tak hanya menagih ijazah, tetapi juga ijazah moral seorang pemimpin. Yang diukur bukan dari tanda tangan rektor, melainkan dari ketulusan menjaga amanah rakyat.***

Tinggalkan komentar