SEBUAH pesan dari Pati sudah disampaikan. Para elite petualang, oligarki, politikus, ormas-ormas, silahkan bersolek untuk menunggangi atau mengganjal, aparat bersenjata silahkan mengguyurkan gas airmata. Sebuah pesan telah disampaikan: Bukan hanya kepada Penguasa di Pati, Bupati Sudewo, melainkan juga ke seantero negeri. Sebuah spanduk bertuliskan huru-huruf besar: “Pak Prabowo, Pecat Bupati Sudewo atau Gerindra kami boikot di Jawa Tengah!”
Di Pati berjejer Pendukung Prabowo, Relawan Jokowi, Pengabdi Megawati, Pengawal Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi ini wilayah yang masyarakatnya disebut oleh kaum bangsawan Mataram disebut Dekat Batu, Jauh Dari Ratu – akrab dengan kehidupan bumi yang keras, kekuasaan silahkan di awang-awang sana.
Matahari Rabu 13 Agustus 2025 mengintip di balik pepohonan Randu Alas ketika suara motor-motor bebek mulai memenuhi jalanan desa-desa. Dari arah Tayu, Juwana, Kayen, Sukolilo, Telogowungu. Orang-orang berangkat dengan wajah bersemangat, tetap dengan banyak canda sarkastis, walau ini adalah jalan menuju perlawanan. Ada yang berboncengan dengan anaknya, ada yang membawa bekal nasi bungkus dalam keranjang plastik.
Petani Sumarno menyampirkan caping di punggungnya, mengikat seikat padi kering dan memasukkannya ke dalam karung, lalu meninggalkan pematang sawah, untuk ikut dalam aksi. Di Pasar Puri, Siti menutup lapak dagangan sayurnya lebih cepat. “Maaf ya, Mbakyu, hari ini ndak jualan. Saya mau ikut demo,” katanya, seraya tangan kiri menggandeng anak perempuannya yang masih SD, tangan kanan membawa poster dari karton bekas.
Menjelang pukul sembilan, alun-alun Pati mulai riuh. Ribuan massa berdatangan, sebagian mengibarkan bendera merah putih, ada juga yang membawa bendera One Piece. Berbagai slogan protes dibentangkan, sebuah poster bertuliskan: “Bupati Sudewo Mundur Secara Ksatria, atau Dilengserkan Rakyat!
Matahari meninggi, menyengat aspal dan ubun-ubun. Suara toa makin keras, orasi makin panas. Ucapan Bupati Sudewo sebelumnya, “Jangankan limaribu orang, limapuluh ribu orang silahkan,” melekat di dalam isi kepada orang-orang.
Orang boleh menyebutnya “aksi massa”, “protes sosial”, atau “gangguan kamtibmas”. Tetapi bagi mereka yang mau membuka lembar sejarah, Pati punya ingatan yang lebih dalam. Ingatan itu seperti darah yang diwariskan dari abad ke abad: keberanian untuk menolak tunduk. Sebuah memori kebudayaan.
Di abad ke-17, Adipati Pragola memilih jalan melawan Mataram, meski tahu taruhannya adalah kepala sendiri. Di pasar-pasar Jawa, nama Roro Mendut dikenang bukan hanya karena kecantikannya, melainkan keberaniannya menolak tubuh dijadikan komoditas kuasa. Dan di ujung abad ke-19, seorang lelaki sederhana dari Randublatung, Samin Surosentiko, menertawakan pajak kolonial dengan bahasa sejujur tanah—bahwa bumi, air, dan udara tak bisa dimiliki oleh siapa pun. Di Pati pula, makam Syeh Djangkung menjadi penanda kesufian yang membumi. Ia mengajarkan bahwa keberanian melawan tirani bukanlah semata urusan dunia, tetapi bagian dari perjalanan jiwa menuju Yang Maha Tinggi.
Maka, ketika ribuan orang turun ke jalan pada 13 Agustus 2025, sesungguhnya yang bangkit bukan sekadar tubuh manusia. Itu adalah ingatan kolektif. Ingatan tentang leluhur yang lebih memilih berdarah-darah di medan perang daripada hidup sebagai boneka kekuasaan. Peristiwa itu Adalah ingatan tentang perempuan yang menolak harga diri dilelang di depan umum. Ingatan tentang petani yang memilih tawa untuk melawan derita.
Pati punya cara untuk berkata: “Kami ada. Kami melawan.” Dan melawan, bagi orang Pati, bukanlah sekadar marah. Ia adalah cara menjaga martabat, menegakkan kebenaran, sekaligus merawat cinta pada tanah kelahiran.
Peristiwa itu—apa pun namanya dalam bahasa politik—adalah gema panjang dari tanah yang enggan menunduk. Sebuah tanah yang mengingatkan Indonesia, bahwa kemerdekaan bukan hadiah dari elite, melainkan hasil keberanian wong cilik.
Pada akhirnya, yang lahir dari Pati bukanlah kerusuhan, melainkan pertanyaan: Masihkah kita setia pada semangat merdeka, atau kita diam menjadi penonton sejarah?
Rabu, 13 Agustus 2025 akan diingat sebagai hari ketika Pati bergemuruh. Puluhan ribu warga turun ke jalan menuntut Bupati Sudewo mundur. Pemicu utamanya adalah keputusan Pemkab menaikkan PBB-P2 hingga 250%, terlanjur memantik kemarahan publik. Laporan menyebut jumlah massa mencapai puluhan ribu hingga sekitar 100.000 orang. Aksi sempat berujung ricuh, diwarnai penangkapan demonstran, kemudian dilepas keesokan harinya.
Lebih dari sekadar protes pajak, 13 Agustus adalah protes politik. Warga bukan hanya menolak kenaikan PBB, tetapi juga meluapkan krisis kepercayaan pada cara kekuasaan mengambil keputusan, cara pemimpin berkomunikasi, serta beban ekonomi yang memberat.
Membaca Pati ada baiknya membaca peta budaya perlawanan panjang. Dalam sejarah daerah ini, pajak dan wibawa kekuasaan berulang kali menjadi simpul konflik.
Di akhir abad ke-19, Samin Surosentiko (Raden Kohar) menumbuhkan gerakan Sedulur Sikep. Mereka menolak pajak kolonial, menolak aturan yang menindas, dan memilih strategi “tidak melawan, tetapi tidak tunduk.” Pajak dilihat bukan sekadar beban, tetapi ujian moral negara: adil atau zalim. Nilai kejujuran, kesederhanaan, dan ora obah ora mamah menjadi etika hidup sekaligus kritik struktural.
Kultur ini pernah divisualisasikan dalam film Lari dari Blora – Harmony Without the Law (2008) yang dibintangi WS Rendra, menggambarkan Saminisme sebagai latar konflik pembangunan. Maka, ketika isu kenaikan PBB meledak 2025, warga Pati seperti menemukan kembali kamus sejarah untuk menamai ketidakadilan.
Abad ke-17, Adipati Pragola I (1600) melawan Panembahan Senopati, dan Adipati Pragola II (1627) menantang Sultan Agung Mataram. Perlawanan itu menandai Pati sebagai subjek politik yang menolak dipinggirkan. Pragola menegaskan martabat daerah dan hak menentukan nasib. Narasi itu terasa aktual: “Pati melawan kebijakan yang memaksa dari atas.” Bedanya, bila Pragola mengangkat senjata, kini perlawanan hadir lewat massa di jalanan.
Legenda Roro Mendut, yang sering dikaitkan dengan perang Mataram–Pati, bukan sekadar kisah cinta. Ia adalah kisah penolakan pemaksaan kuasa. Dalam versi sastra dan lisan, Roro Mendut menolak pajak rokok yang dipaksakan atas dagangannya. Ia memilih mempertahankan hak tubuh dan pilihan, meski dibayang-bayangi kekuasaan lelaki/negara. Hari ini, gema Mendut terasa di wajah-wajah perempuan Pati—pedagang, ibu rumah tangga, buruh tani—yang ikut turun ke jalan. Politik keseharian mereka lahir dari dapur, harga pokok, dan tagihan PBB.
Kisah lainnya adalah Syekh Jangkung (Saridin), putra Sunan Muria, mewariskan ajaran ngelmu kang manfaat: keadilan, welas asih, dan kebijaksanaan batin. Etika sufistik ini menegaskan bahwa kewibawaan pemimpin lahir dari kepantasan moral—cara mendengar, merangkul, dan membatasi diri di hadapan rakyat. Dalam panasnya 13 Agustus, warisan sufistik memberi rem kultural: menghindari kezaliman tanpa bom-bom molotov, cukup dengan botol air mineral, namun tuntutan sangat jelas dan tegas.
Kenaikan PBB-P2 hingga 250%, walau akhirnya dibatalkan, warga tetap turun. Itu menandakan kekecewaan telah melampaui isu tunggal. Tiga sumbu penting muncul: (1) Keberterimaan Fiskal: Bagi petani, pajak bukan angka di atas kertas. Ia terkait hasil panen, harga gabah, dan kelangsungan hidup. Dalam memori Samin, pajak bisa jadi alat kontrol yang harus digugat bila tak adil. (2) Komunikasi Kekuasaan: Narasi pejabat yang terkesan menantang warga untuk berdemo menjadi bensin di atas api. Di era media sosial, satu kalimat bisa jadi pemicu ledakan sosial. (3) Legitimasi Pemimpin: Momen perayaan kemerdekaan 17 Agustus tak ada nilainya, jika Pemimpin sama dengan Kolonial. Bahkan merah putih perlu dikawal oleh bendera One Piece.
Fiskal adalah bahasa budaya. Pajak di Pati menyentuh memori historis. Kebijakan fiskal harus partisipatif, berbasis kemampuan bayar, dan sensitif pada ekonomi lokal. Komunikasi menentukan suhu sosial. Dalam budaya Jawa, pemimpin dituntut andhap asor, tepa selira, dan rembugan. Akuntabilitas apparat, kekerasan berlebihan harus sudah bukan zamannya, hanya akan menurunkan wibawa negara.
Pragola mengingatkan pusat untuk tidak memaksa, Jangkung mengingatkan daerah untuk welas asih. Roro Mendut relevan untuk kebijakan yang peka gender: dari harga bahan pokok hingga jaminan sosial.
Peristiwa 13 Agustus 2025 adalah cermin bahwa Pati tidak pernah lupa akarnya. Dari Samin, Pragola, Roro Mendut, hingga Syekh Jangkung, warga menghidupkan kembali kosakata lama untuk menulis ulang kontrak sosial baru: Lebih adil, lebih manusiawi. Sejarah mengajarkan: Perlawanan bukan sekadar menolak, tetapimengajukan cara hidup yang lebih bermartabat. Dan Penguasa, minggatlah jika engkau bukan Pemimpin. (Jakarta, 18 Agustus 2025)

Tinggalkan komentar